Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML Atas

Sejarah Singkat Pura Besakih di Bali

Sejarah Singkat Pura Besakih di Bali
Pura Besakih

Sejarah Singkat Pura Besakih di Bali

Pura Besakih - Di Bali, ada twist yang menarik dalam hubungan antara pura dan negara. Hal ini ada kaitannya dengan cara para penguasa dan politisi melibatkan diri dengan pura. Lihatlah kisah Besakih, Pura Ibu seluruh Bali. 

Kisah panjang sejarah Pura Besakih ini menggambarkan bagaimana dari zaman ke zaman, otoritas sekuler telah mengekstraksi otoritas politik dari masyarakat Bali, melalui keterlibatan mereka dengan Besakih; baik dengan memelihara fasilitasnya maupun dengan mengarahkan siklus upacaranya. Tempat paling suci di Pulau Dewata ini, tak henti-hentinya menjadi sasaran ambisi politik untuk memenangkan legitimasi moral atas otoritas mereka.

Tentang Pura Besakih

Pura Besakih dan Gunung Agung
Pura Besakih dan Gunung Agung

Sebenarnya, tidak sepenuhnya jelas kapan Pura Besakih dan Gunung Agung pertama kali dilihat sebagai wilayah keramat. Penyelidikan arkeologi menunjukkan bahwa di lereng barat daya Gunung Agung, Pura Besakih pertama kali ditemukan sebagai candi/kuil piramida berundak; sejenis bangunan suci yang terkait erat dengan kepercayaan dan ritus yang lazim di zaman batu. Profesor Ida Bagus Rata, PhD, dari Fakultas Sastra Universitas Udayana (Denpasar), dalam disertasinya, Besakih sebagai Tempat Ibadah Semesta, menunjukkan bahwa tradisi piramida berundak inilah yang kemudian memunculkan meru yang khas, atau kuil berjenjang, yang sekarang menjadi kekhasan dari pura-pura di Bali.

Sedikit jejak sejarah awal Besakih akan membawa kita ke abad ke-8; era Resi Markandya, seorang mistikus Jawa yang misi suci pertamanya ke Bali (menurut penanggalan Saka tahun 85) gagal secara tragis. Setelah mundur ke Jawa, Markandya kembali lagi pada tahun Saka 111, ketika ia memasang sebuah persembahan simbolis panca datu di bawah tanah di Besakih, yang terdiri dari lima unsur logam yang berbeda yang mewakili lima warna primer, dan secara umum dapat ditafsirkan sebagai lima kualitas luhur yang melekat pada keberadaan manusia. Menurut cerita, sikap bakti di Besakih inilah yang membuahkan keberhasilan dan keselamatan misi kedua Markandya. Cita-citanya, yang berhasil ia capai di Desa Taro di Kabupaten Gianyar hulu, adalah mendirikan komunitas keagamaan di Bali. Sejak hari-hari awalnya, sejarah Besakih telah dibumbui oleh hubungan yang erat mengenai urusan para pemimpin dan politisi Bali.

Sejarah Singkat Pura Besakih

Pura Merajan Selonding
Pura Merajan Selonding

Panglingsir (seseprang yang dituakan) Kota Besakih, Gusti Mangku Manik Arjawa (68), menceritakan kepada kita kisah Besakih yang diturunkan kepadanya, dengan mengutip penanggalan Bali atau penanggalan Saka. Ia menceritakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Sri Jaya Sakti (Tahun Saka 172), yang istananya berada di situs desa Bantiran di Kabupaten Tabanan bagian atas, Besakih menjadi pusat perhatian khusus para penguasa Bali. Pola ini berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Basubanda (Saka 444), dan didokumentasikan melalui masa pemerintahan Raja Sri Wira Dalem Kesari, yang secara tradisional diyakini sama dengan Kesari Warmadewa (Saka 835), salah satu penguasa paling legendaris di Bali. 

Adalah Warmadewa yang diduga telah membuat rencana situs keseluruhan untuk Besakih, dengan membangun empat kompleks candi yang berbeda di empat arah mata angin yang memancar dari pagar candi pusat. Candi-candi yang masih berdiri di tempat aslinya adalah: Pura Gelap (di sebelah timur, yang merupakan arah yang berhubungan dengan Dewa Iswara); Pura Ulun Kulkul (sebelah barat, untuk Dewa Mahadewa); Pura Batu Madeg (sebelah utara, untuk Dewa Wisnu); dan Pura Kiduling Kreteg (sebelah selatan, untuk Dewa Brahma). Pada masa ini juga ditata Pura Penataran Agung, pusat pemujaan di Besakih saat ini, dan kompleks Merajan Selonding yang dibuat sebagai tempat suci khusus untuk pemujaan oleh anggota bangsawan yang berkuasa.

Pola keterlibatan aktif tokoh-tokoh politik dalam organisasi di Pura Besakih ini berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Udayana. Dalam tahun Saka 929, Raja Udayana bersama dengan pemimpin agama mani Mpu Kuturan, menyempurnakan Besakih. Mpu Kuturan juga menetapkan Pura Besakih sebagai pusat mandala besar yang meliputi seluruh pulau, dengan membangun skema besar pura Sad Kahyangan, atau candi pengarah utama, yang terletak di seluruh Bali sesuai dengan arah kompas yang memancar dari Gunung Agung.

Setelah itu, nama dua orang raja Bali berikut tercatat karena mengabaikan Pura Besakih, menurut Gusti Mangku Arjawa. Yang pertama adalah Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten, yang berselisih dengan para jenderal Majapahit Jawa yang telah mempertaruhkan klaim mereka di Bali. Karena itu ia dijuluki BedaUlu, atau kepala lain, dan dinarasikan dengan ejekan dalam cerita rakyat. Sedang raja kedua yang mengabaikan Pura Besakih adalah penggantinya dari Majapahit, Sri Kepakisan. Kedua raja ini lalai dalam mengurus Besakih, sampai-sampai masyarakat Bali memprotes, dan akibatnya kewibawaan mereka runtuh, menurut Gusti Mangku Arjawa. Raja Sri Kepakisan sebenarnya didemonstrasi oleh 39 desa orang Bali Kuna (orang Bali pra-Majapahit asli), menuntut agar dia pulang ke Majapahit di Jawa. Namun, jendral Majapahit, Gajah Mada, tetap memutuskan bahwa Sri Kapakisan harus menjaga Besakih dan menerima tanggung jawab atas candi tersebut. Arjawa menambahkan, setelah konsesi ini, masyarakat Bali akhirnya mengalah dan mengakui kekuasaan Sri Kapakisan.

Pura Penataran Agung Besakih

Padmasana Tiga
Padmasana Tiga

Penggunaan Pura Besakih sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan sosial politik paling lazim pada masa Dinasti Gelgel, di bawah Raja Waturenggong (Baturenggong). Konon pada saat inilah pura atau pedharman individu mulai bermunculan di kompleks Besakih. Waturenggong juga menyisihkan lahan khusus untuk digarap demi mendukung Besakih, lanjut Arjawa. Di bawah pengaruh pedanda sakti, Dang Hyang Nirartha, sebuah Padmasana Tiga ( padma asana / singgasana teratai ) besar didirikan sebagai pura pusat di Pura Penataran Agung(arena fokus pemujaan Pura Besakih), dan pada saat itu ritus pemurnian global berskala besar (Eka Dasa Rudra) pertama kali diadakan. Seiring dengan perhatian yang besar terhadap Pura Besakih, Dinasti Gelgel berkembang dan menjadi pusat kekuasaan politik yang tak terbantahkan di Pulau Bali. Besakih, pada gilirannya, menjadi pusat kekuatan suci, dan Hinduisme Saiwa sebagaimana dianut oleh Nirartha semakin berkembang. Bersamaan dengan itu, Raja Waturenggong menikmati dukungan dan simpati dari rakyatnya.

Ketika kekuasaan Dinasti Gelgel dan keturunannya di Klungkung surut, banyak kerajaan kecil muncul dan merebut kekuasaan di seluruh Bali. Kerajaan kecil ini kemudian menjadi kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Mengwi, Bangli dan Karangasem. Selama masa sulit ini, Pura Besakih tetap dirawat dengan baik. Sebagai sebuah kecamatan, Besakih dulunya dan hingga kini masih berada di Kabupaten Karangasem. Namun Raja Karangasem tidak pernah mengklaim Besakih berada di bawah kekuasaannya. Tanggung jawab pelaksanaan upacara tetap menjadi kewenangan Raja Klungkung. Ketika kerajaan Klungkung dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1908, seluruh Bali secara efektif ditaklukkan di bawah kekuasaan kolonial.

Pada tanggal 21 Januari 1917, Gunung Agung meletus secara eksplosif selama 45 detik dan membuat Besakih kacau balau. Belanda yang selama ini mengabaikan Besakih, kemudian diam-diam mulai mencurahkan perhatiannya pada tempat itu. Orang Bali percaya bahwa letusan itu terjadi karena para dewa marah atas kelalaian Besakih di bawah kekuasaan Belanda. Dalam sekejap, Belanda menggembar-gemborkan renasains Besakih, membentuk Dewan Raja Bali dan merenovasi Besakih, situs utamanya diperluas, dengan biaya 100.000 Gulden Belanda. Pemerintah Belanda menyumbang 25.000, Ratu Wilhelmina mengirimkan 1.000, dan sisanya ditutupi oleh kemurahan hati para raja dan rakyat Bali. Sejak saat itu, raja-raja bekas kerajaan Bali masing-masing mengemban tugas masing-masing di Besakih: Klungkung bertanggung jawab untuk melaksanakan upacara; dan yang lainnya mengambil sisa tugas pemeliharaan, fasilitas dan sebagainya.

Mengetahui pengabdian luar biasa yang dirasakan orang Bali terhadap Pura Besakih, bahkan Belanda pun menggunakannya untuk tujuan politik, kata Arjawa. Pada tahun 1938, mereka menggunakannya sebagai tempat pengambilan sumpah suci dari semua raja di Bali, untuk tidak pernah mengkhianati tuan Belanda mereka. Setelah masuknya pasukan pendudukan Jepang pada tahun 40-an pun juga tidak mengabaikan Pura Besakih.

Era Kemerdekaan Indonesia 

Setelah Kemerdekaan Indonesia, ketika Bali menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT) yang baru lahir, pada saat inilah untuk pertama kalinya Besakih benar-benar menjadi tanggung jawab Negara (pemerintahan Bali yang baru). Komitmen Pemerintah Bali terhadap Besakih semakin kuat setelah Bali menjadi bagian dari Provinsi Sunda Kecil Indonesia pada 17 Agustus 1950. Saat itu, Gubernur Provinsi Sutedja menetapkan bahwa masyarakat Bali harus mendirikan penjor (tiang bambu lengkung dekoratif) di sepanjang jalan jalan raya pada hari raya Galungan, sebagai tanda penghormatan terhadap Dewa Gunung Agung di Besakih. 

Pada tahun 1963, tujuh tahun setelah Bali menjadi provinsi tersendiri, Pemerintah Bali berinisiatif untuk menyatakan bahwa sudah saatnya untuk mengadakan upacara penyucian semesta besar di Besakih, Eka Dasa Rudra. Keputusan ini diambil oleh Pemerintah, meskipun Keraton Klungkung masih resmi mengurusi segala aspek upacara Pura Besakih. Dalam upacara tersebut, Gunung Agung kembali meletus, seolah mengomentari ketidaksesuaian ini. Pengaturan untuk upacara, yang telah dibuat selama satu tahun penuh, terhenti total.

Dua tahun kemudian, apa yang meletus di Bali adalah kekacauan politik, menyusul upaya kudeta di Jakarta dan perburuan golongan komunis. Dalam keadaan seperti itu, Pura Besakih kurang mendapat perhatian. Baru pada tahun 1967 Pura Besakih kembali menjadi pusat perhatian, ketika restorasi dimulai pada Padmasana Tiga di pura yang paling sentral. Saat ini, pertama-tama kita mulai melihat birokratisasi Pura Besakih, dengan munculnya Panitia Renovasi, di bawah kendali Yayasan Prawartaka Besakih. Proses berbelit-belitnya kekuasaan terus berlanjut, ketika pada tanggal 10 Agustus 1968 Gubernur Bali, Soekarno, membuat keputusan resmi untuk mengalihkan tanggung jawab Pura Besakih dari Pemerintah Bali kepada Dewan Agama Hindu (Parisada Hindu Darma).

Ketika Profesor Ida Bagus Mantra menggantikan Soekarmen sebagai Gubernur Bali, perebutan kekuasaan atas Pura Besakih memasuki fase evolusi baru dan fiksasi panitia. Dalam praktiknya ditetapkan bahwa panitia yang dibentuk oleh Gubernur akan mengawasi setiap proyek seremonial atau fisik di Pura Besakih melalui berbagai tingkat kompleks instansi pemerintah kabupaten dan provinsi Bali. Pada saat Ida Bagus Mantra diangkat menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan di Jakarta, ia sudah berhasil mendirikan wantilan (anjungan umum/bale besar) di samping lapangan terbuka di kaki kompleks Pura Besakih. Gusti Mangku Arjawa berkomentar, Kami masyarakat Besakih sendiri paling hanya dijadikan ketua sub komite. Selebihnya dipegang oleh Pemerintah.

Pola birokrasi ini berlanjut di bawah Gubernur Ida Bagus Oka, yang sebagai Pengurus Daerahnya adalah Dewa Made Beratha. Kepanitiaan penting di Pura Besakih umumnya diketuai oleh Beratha. Bukan kebetulan, sekarang Beratha telah menggantikan Ida Bagus Oka sebagai Gubernur, dan ia pada gilirannya melanjutkan tradisi pendahulunya dalam kaitannya dengan Pura Besakih. Ketika upacara besar Panca Walikrama diadakan pada tanggal 17 Maret 1999, Berata sebagai Gubernur, mengeluarkan dekrit resmi yang menyebutkan anggota dan ketua panitia upacara. Ketua Umum adalah Mayun Eman, yang saat itu merupakan pejabat penting di pemerintahan daerah Beratha. Saat ditanyai soal ini, Beratha hanya berinisiatif agar upacara akbar ini tetap berjalan.

Tampak luar biasa, bahwa masyarakat Besakih dianggap tidak mampu merawat dan menjalankan Pura Besakih, padahal mereka telah mengelola kegiatan sehari-harinya secara terus menerus selama berabad-abad. Jika melihat beban kebutuhan praktis yang sangat besar terkait dengan penyelenggaraan Besakih, tampaknya wajar bagi pihak luar, termasuk pemerintah, untuk mengambil peran pendukung. Masyarakat Pura Besakih kemudian dapat menjalankan peran turun temurun sebagai penjaga dan pemelihara pura, tanpa terhalang oleh birokrasi yang tidak semestinya.

Apakah diperlukan badan pendukung atau tidak, mungkin Pura Besakih dapat dioperasikan secara kooperatif di antara masyarakat Besakih dan berbagai sub kelompok dalam agama Hindu Bali, sehingga memastikan bahwa praktik-praktik yang lebih tradisional, kuno dan asli dipulihkan atau juga dilestarikan. Misalnya, keterlibatan dalam upacara perwakilan dan pendeta dari Catur Lawa, yang merupakan empat sekte turun-temurun yang penting dalam agama Hindu Bali. Isu tentang peran mereka di Besakih telah menjadi fokus perdebatan sengit dalam beberapa tahun terakhir, di mana partisipasi mereka hampir sepenuhnya dikalahkan dan bahkan ditolak di upacara-upacara besar Besakih. Keempat aliran turun-temurun ini dikenal sebagai Pande, Pasek, Panyarikan, dan Sedaning. Jika sistem kewenangan kooperasi di Besakih diterapkan dengan melibatkan pihak-pihak tersebut di atas, baru setelah itu tampaknya perlu melibatkan pihak luar, seperti pemerintah daerah, padharman (masyarakat pura marga turun-temurun) dan lain-lain.

Upacara Melasti 

Upacara Melasti
Upacara Melasti

Meremehkan peran tradisional Catur Lawa adalah suatu kesalahan. Sentralitas lama mereka dibuktikan dalam banyak konteks ritual. Misalnya, dalam rangkaian melasti (ritual penyucian tokoh-tokoh dewata), Catur Lawa memegang peranan penting. Menurut ulama dan pemerhati sosial, I Gede Pitana, hingga para dewa Catur Lawa tedun (turun menempati figur keramatnya), Ida Batara ten kayun mamargi (dewa Besakih sendiri tidak berkenan untuk datang). Sudah lama menjadi tradisi di Besakih bahwa ketika gambaran Ida Batara pergi dalam prosesi ritual pemurnian melasti, sekte Pande mengambil posisi terdepan dalam prosesi, membawa senjata ritual. Pande adalah pedang dan tombak tradisional Bali. Senjata simbolis atau pejenengan Ratu Pande, dewa sekte Pande juga digunakan untuk ritual mengorbankan hewan yang dipersembahkan dalam upacara tersebut. Dan Pande jugalah yang membuat segala macam padagingan atau peralatan ritual untuk Pura Besakih yang berupa berbagai perkakas berbahan logam.

Secara berurutan, Pande diikuti oleh aliran turun-temurun Pasek, yang membawa kendang, menabuh irama untuk menandai laju arak-arakan. Berikutnya adalah Panyarikan dan Sedaning, masing-masing dengan peran simbolis dan ritualnya masing-masing. Kata Pitana, menggarisbawahi keterlibatan integral Catur Lawa dalam kehidupan ritual Besakih, elemen dasar format ini tidak berubah sejak zaman dahulu hingga saat ini.

Banyak tradisi membuktikan hubungan lama antara Catur Lawa dan Besakih. Gusti Mangku Arjawa menjelaskan bahwa jika Ida Batara yang merupakan dewa tempat pemujaan paling sentral di Pura Besakih, Penataran Agung, secara simbolis berdiam dan hadir di tempat pemujaannya, suatu keadaan yang disebut nyejer, maka para dewa Catur Lawa juga nyejer di masing-masing candi, dan mereka tidak boleh secara begitu disingkirkan atau nyineb, sampai Ida Batara di Penataran Agung juga nyineb. 

Selain itu, ketika ada upacara di Penataran Agung, para dewa Catur Lawa juga harus dihormati, dalam bentuk sesajen dan doa (suguhan, bakti). Demikian pula, setiap kali ada upacara besar-besaran di Penataran Agung, sembilan pemangkus (imam) tinggi Besakih mengadakan upacara yang disebut ajang agung, dan sebagai bagian dari ritual ini, mereka menghormati para pemangku pura aliran Catur Lawa. dengan persembahan dan doa. Dengan demikian, ajang agung merupakan ekspresi kehormatan yang terkoordinasi dari sembilan pemangku tertinggi Besakih. Menurut Arjawa, sebelum era kepanitiaan, kesembilan peserta dalam ajang agung ini adalah pimpinan upacara Besakih, beserta pengurusnya.

Sembilan pemangkus ajang agung memiliki gelar tersendiri yang menunjukkan hierarki jabatan yang mereka pegang di Pura Besakih. Di garis depan ritual adalah para pemangkus tertinggi, selalu keturunan seorang pangeran yang disebut I Gusti Ngurah Sidemen. Mereka dikenal sebagai: Jero Mangku Tinggi (yang diterjemahkan sebagai Pendeta Agung), yang memimpin Pura Batu Madeg (Utara, Visnu); Jero Mangku Tincap dari Pura Kiduling Kreteg (Selatan, Brahma); Jero Mangku Pageh (Pendeta Tegas Kebal) dari Pura Penataran Kawan (Kuil Tinggi Barat); dan Jero Mangku Patuh dari Pura Penataran Kangin (Kuil Tinggi Timur).

Ada juga pemangku penting lainnya pada tingkat di bawahnya, yang berasal dari keturunan seorang pangeran yang dikenal sebagai I Gusti Ngurah Kubayan. Ia dikenal sebagai Jero Dangka (Basukihan), yang merumuskan secara tertulis sanksi pejabat terhadap pembangkang.

Aja sangsal ring lingingsastra, ila-ila dahat yan tan wenang kawenangang srug ikang bhuwanakabeh.

[Dari teks kuno di daun lontar tentang ketetapan hukum Besakih, berjudul Raja Purana Pura Besakih]

Jangan melanggar peraturan yang tertulis dalam ajang agung. Sangat berbahaya, jika yang tidak sah dilegitimasi. Akibatnya akan terjadi kekacauan di dunia. Dalam semua kebenaran, pihak manapun yang mencari legitimasi melalui Pura Besakih, harus memperhatikan apa yang tertulis dalam teks lontar suci ini, Raja Purana Pura Besakih. Risikonya jelas merupakan risiko yang besar untuk diambil, jika ada orang atau praktik apa pun di Pura Besakih yang tidak pantas.

Nah, itulah sekilas tentang sejarah berdirinya pura besakih, situs paling suci di Bali, yang entah bagaimana selalu menjadi sasaran mereka yang berambisi politik dalam perebutan legitimasi dan simpati rakyat.


*dikutip dari balivision.com

Sumber gambar:
wikipedia.org 

Posting Komentar untuk "Sejarah Singkat Pura Besakih di Bali"