Kafe Tembakau, Ario Sandy
Kafe Tembakau

Icip-icip Mbako di Kafe Tembakau

Icip-icip Mbako di Kafe Tembakau – Nongkrong sore-sore di mbako shop ini ternyata asyik juga. Menghabiskan waktu dengan ngudud-ngudud ria. Kebetulan juga boleh free nglinting beberapa macam tembakau. Ada tembakau Kali Turi, Kasturi, Ungaran, dll.

Tidak pakai malu-malu saya langsung duduk nyenuk melinting beberapa jenis tembakau yang menarik perhatian saya. Dan mulai menghisap satu demi satu lintingan tadi. Sambil kemudian membuka hape dan menonton video para sobat ambyar berpadu suara menyanyikan lagu sang Godfather of Broken Heart pada salah satu konsernya.

Saya tidak sendiri di situ, ada beberapa pemuda lain yang juga tertarik dan mencicipi beberapa sampel tembakau yang disediakan. Mereka juga asik bertukar cerita mengenai pengalamannya merasai berbagai karakter tembakau. Di mbako shop ini memang tempatnya mereka sering bertemu. Tidak mesti saling kenal. Hanya bertemu, lantas ngudud, lantas ngobrol. Mungkin, dulunya daun tembakau itu pernah disabdo para dewa sebagai salah satu medium pemersatu manusia. Jadi, tidak heran kalau sudah sejak dahulu mewarnai silaturahmi antar manusia.

Tempatnya yang nyaman membuat kami para penikmat tembakau ini betah berlama-lama di situ. Walau berada di pinggir jalan besar, tapi tidak terganggu bising lalu lalang kendaraan.

Si ibu pemilik toko juga terlihat sangat welcome. Ia sibuk melayani para pembeli yang datang bergantian. Usianya sudah cukup tua, sepantaran dengan ibu saya.

Di sela silih bergantinya pembeli yang datang, saya iseng bertanya, “Masih ingat harga kulakan gula atau beras ndak bu?”

“Lha piye to mas…?” jawab si ibu dengan balasan tanya. Agak bingung dia dengan arah pertanyaan itu.

“Ndak bu… kan, biasanya ibu-ibu itu jualannya sembako. Lha ini malah jualan mbako,” ujar saya sambil tertawa kecil. Si ibu ikut tersenyum sembari merapikan toples-toples tembakaunya.

Baca Juga Don't F**k with Cats: Hunting an Internet Killer

Kata si ibu menjelaskan, “Sudah lama saya jualan mbako, mas. Nerusin usaha almarhum suami. Yang penting kan halal, ya saya jalani.”

Beberapa pembeli berdatangan lagi disambut gerak cekatan si ibu meladeni pesanan mereka, membuat saya urung melanjutkan obrolan. Lebih baik saya kembali ke tempat semula dan melanjutkan menonton video konser sang Godfather of Broken Heart tadi.

Tidak terasa langit beranjak gelap, dan saya memutuskan untuk pulang setelah memesan Kasturi Jepun dan Mole Bandung. Tapi tidak ketinggalan tetap mengantongi rasa syukur dan gembira, ternyata masih ada spot ngudud yang menyegarkan di kota ini. Karena hari-hari ini napas sudah terlalu sesak dengan kepulan asap kabar tentang Corona.

— Sandy

Tinggalkan Balasan