Self Serving Bias, Ario Sandy
Self Serving Bias. img/brahmakumaris.com

Self-Serving Bias: Bias yang Biasa?!

Self Serving Bias – Beberapa waktu yang lalu saya kembali diingatkan tentang self serving bias oleh seorang kawan dekat. Pasalnya, saya cukup uring-uringan dengan proyek saya yang gagal dan mesti merogoh kocek untuk nombok ganti rugi kepada klien.

Mungkin dia tak tahan juga melihat sikap saya yang tahan uring-uringan hingga berhari-hari, karena biasanya saya easy going saja saat keadaan-keadaan yang saya nilai buruk sedang menimpa.

Saya tidak menolak juga kritik dari kawan saya atas respon buruk saya terhadap keadaan ini, hanya saja saya memang butuh waktu untuk menenangkan diri. Memangnya saya siapa, bisa dengan singkat legowo atas keadaan yang tidak sesuai dengan perkiraan dan harapan saya.

Ya, tapi memang betul juga apa yang dikatakannya. Yang kali ini saya terlalu membutuhkan waktu lama untuk menenangkan diri.

Dia mengingatkan, “kamu boleh kecewa, tapi jangan terlalu lama”.

Kalau sudah menasihati seperti itu, lagak kawan saya itu mirip psikolog saja. Padahal, kuliah saja tidak tamat. Kuliah pun jurusan bahasa. Biasanya itu yang saya jadikan bahan untuk mengoloknya.

“Jangan terjebak. Jangan menilai berlebihan peranmu atas keberhasilan sesuatu. Dan selalu menyalahkan orang lain bila nyatanya terjadi kegagalan. Itu namanya self serving bias. Kan kamu tau juga kisah si Narcissus. Walau beda konteks ya. Tapi ujung-ujungnya sama, jumawa,” katanya lagi.

“Ah, macam psikolog saja kamu ini. Saya tidak butuh teori-teori itu,” saya membantah walau tidak sungguh-sungguh.

Dia kemudian berceramah panjang lebar, yang sebetulnya separuh dari pembicaraannya tidak masuk di telinga saya. Tapi, poin-poin yang penting tetap saya simpan sebagai masukan. Bahwa sikap saya beberapa waktu ini berpangkal dari rasa jumawa. Bahwa diri mesti dikoreksi. Bahwa setiap keadaan yang buruk adalah latihan penyikapan. Bahwa setiap kejadian harus dirangkum menjadi pembelajaran. Dan, masih banyak lagi lainnya. Dan, kesemuanya itu benar.

Baca Juga Kafe Tembakau Bisa Jadi Lahan Bisnis

Selepasnya pulang, saya masih sibuk mengurai dialog dengannya barusan. Walau belum lepas betul sesak di kepala ini, namun cukuplah untuk menjadi kendali dan memulai kembali introspeksi.

— Sandy

Tinggalkan Balasan